Aku
meneguk secangkir kopi di bawah rona matahari lavender. Entah apa yang aku
lakukan di antara hiruk pikuk ini. Aku merasa sangat sendiri di sudut bagian
duniaku yang masih tersisa kini.
Aku kembali menatap dunia itu melalui jendela di sampingku, ia membingkai tiap
jengkal panorama yang tak ingin kulepaskan. Di sana dulu masih dapat kulihat
pantai dengan latar belakang laut biru yang berkilau, dan senyumannya yang
menghentikan aliran waktu membekas selalu. Ia yang tercantik dari seluruh
pemandangan Langit-Bumi.
Kupenjamkan mataku untuk melihat kembali semuanya yang dulu masih dapat kulihat
meski tak harus dengan mata tertutup. Di jengkal goresan kenanganku, ia masih disitu.
***
Aku
adalah lantunan melodi ringan dari tanah Eden
Jiwa
yang keras terbelenggu rantai ribuan zaman
Jatuh
cinta pada angin
Belenggu
ini semakin erat mengikat
Perasaan
yang bimbang ini
Mencampakkanku
Ke
sungai beku jutaan tahun
Jatuh
cinta pada angin
Aku
hilang dalam derai musik
Roda-roda
waktu yang terhampar di jutaan musim
Bahkan suaranya membuat angin menjadi tenang. Ia mengusik langit malam dengan
alunan yang memanjakan. Aku mengenal seluruh Langit dan Bumi, dan aku
mengenalnya. Nebel, Sang Penjaga Kuil Neptunus.
Ketika kereta kencanaku menembus awan berarak dan menukik semakin rendah menuju
laut, ia seketika menghentikan lantunannya. Kilauan para peri laut Thetis
mengelilingi dia yang duduk tenang di atas singgasana karang yang putih tulang,
ekornya yang keperakan menyentak menciptakan bulir air memercik dan terciptalah
para Thetis dari bulir-bulir air itu. Cahaya mereka di sekelilingnya membuat ia
lebih berkilau dari bintang.
Ia tersenyum dan menunduk sedikit, memberi penghormatan dengan cara yang dapat
membuat jantungku bertalu keras. Pertama kalinya aku dan dia bertegur sapa, aku
tak pernah menyadari bahwa dialah satu-satunya makhluk Bumi yang dapat
menggerakkan hatiku.
Kembali
kurasakan detakan waktu melambat ketika kutahu bahwa ia telah mengakibatkan
keributan besar di lantai langit.
Dia adalah gadis yang paling berani yang pernah
kutahu, sebab dengan status sebagai penjaga kuil saja ia telah secara
terang-terangan menentang takdir dari Langit. Ia mencuri senjata trisula
Neptunus untuk meredam tsunami besar yang seharusnya menenggelamkan seluruh
Bumi. Meski ia tak dapat menyelamatkan Atlantis, namun separuh dunia bergerak
maju tanpa henti karena keberaniannya itu.
Pembuangan di sudut Neraka adalah tempat bagi yang membelokkan takdir. Tak
mungkin kubayangkan saat-saat ia jadi abu di tempat mengerikan itu. Dan satu
langkah yang kulakukan tanpa berpikir untuk pertama kalinya adalah
menyelamatkan dia dari hukumannya. Melarikannya dengan bantuan dua pengawal
setiaku, Fobos dan Deimos.
Melarikan
diri dari ribuan tentara Jupiter—Raja para Dewa—adalah kesia-siaan, kedua
pengawal setiaku mengingatkan setiap detik. Aku tak mendengarkan mereka, hingga
aku tahu bahwa mereka benar. Bahkan dengan kekuasaanku, aku tak sanggup lari
dari takdir Langit dan Bumi. Aku bersalah sepenuhnya saat hukumannya menjadi
lebih berat karena melarikan diri dan jatuh cinta padaku.
Aku merasa menjadi makhluk terlemah karena memikirkannya. Kubiarkan diriku
tenggelam dalam keputusan pengadilan langit. Inilah titik terlemahku ketika aku
tak dapat berbuat apa pun untuk menyelamatkannya sekali lagi. Saat para
petinggi di lantai langit mengemukakan pendapat dan bergerak untuk
melaksanakannya, aku hanya bisa terdiam menerima hukumanku.
Aku akan manerima hukuman apa pun, kecuali melihatnya menjadi abu di Neraka.
Lalu ketika Venus sekilas melirik ke arahku dalam persidangan itu, segera
pikiranku seperti disirami embun pagi dari Kerajaan Pelangi.
***
Aku
tersentak oleh sapaan seorang pelayan café yang menanyakan apakah aku ingin
memesan yang lainnya selain kopi. Aku hanya menggeleng dan kemudian membiarkan
ia pergi.
Lamunanku tentang kenangan masa lalu itu buyar sudah. Kuhembuskan nafas, kurasakan
aliran udara memenuhi paru-paru dan aliran darah yang berdenyut-denyut di
nadiku. Raga manusia ini terasa begitu rapuh.
Kualihkan
pandangan keluar jendela. Ia membingkai langit dan matahari keunguan yang
mengambang di awan kelam. Aku beranjak dari kursiku, melangkah keluar café.
Dan, pandanganku seketika tersudut pada sosok yang selalu dapat menghentikan
aliran waktuku. Dia, di toko bunga di seberang jalan itu. Tak berubah sedikit
pun. Kulitnya putih seperti salju, matanya sebiru lautan menenggelamkan,
rambutnya tergerai ikal keemasan, ia seperti roh lautan yang tersesat di
daratan.
Kucoba
tenangkan detak jantungku yang tak henti menggenderang. Dia adalah satu-satunya
makhluk dunia yang membuatku tak dapat berpikir, hingga pertamakalinya aku
memohon untuk satu nyawa. Kala itu kumohon bantuan pada Venus agar
menyelamatkannya dari hukuman terasing di dalam penjara api yang menyiksa,
mengingat bahwa ia tak pantas menjadi abu di Neraka karena telah menyelamatkan
manusia dari bencana besar, karena aku melarikannya dari hukuman, karena ia
mencintaiku. Dan ia pun dilempar ke dunia manusia untuk satu karmanya. Terlahir sebagai manusia yang baru tanpa
segala ingatan kehidupannya terdahulu.
Sementara
itu untuk menebus segala kesalahanku, saat ini aku harus menjalani hukuman dari
langit, terkurung di dalam raga manusia biasa ini. Dan apabila aku mengulangi
kesalahan yang sama—menentang takdir Langit-Bumi, maka dia akan berakhir
sebagai kabut di atas hamparan lautan yang dikuasai Neptunus dan aku akan menjadi
makhluk tak berguna yang terbuang.
Hampa ini terlalu dalam ketika aku kini berdiri di hadapannya namun hanya dapat
melihatnya saja. Seolah ada lubang kosong di dadaku kala kuingat bahwa ia telah
melupakan aku dan kenangan yang pernah ada di dalam dirinya dulu, bahwa ia sejak dulu tak pernah mengetahui siapa aku
sesungguhnya, dan bahwa ia mungkin tak pernah tahu betapa aku juga
mencintainya.
Seekor
kupu-kupu melewatiku. Menyadarkan aku bahwa langkahku telah semakin dekat ke
arahnya, sang gadis penjual bunga. Kutatap kupu-kupu itu terbang semakin tinggi
ke langit, makhluk cantik itu digunakan Venus sebagai matanya untuk mengawasi
segala kejadian di seluruh dunia. Aku tersenyum hambar, mengerti bahwa Venus tak
pernah berhenti mengawasiku.
Selain
Fobos dan Deimos, Sang Dewi Cinta Venus adalah yang selalu mengingatkanku agar
tak melakukan kesalahan lagi. Mereka mungkin sedikit yang tak ingin seorang
Dewa Perang Mars meringkuk di sudut Neraka karena membelokkan takdir, melakukan
tindakan bodoh karena mencintai manusia biasa atau makhluk indah dari Kuil
Neptunus.[]
No comments:
Post a Comment