Hi!

"If Nothing Ever Changed, There'd Be No Butterflies."

December 29, 2011

Tantangan Cerpen Tanpa Dialog : Nebel in the Ocean



Aku meneguk secangkir kopi di bawah rona matahari lavender. Entah apa yang aku lakukan di antara hiruk pikuk ini. Aku merasa sangat sendiri di sudut bagian duniaku yang masih tersisa kini.
  Aku kembali menatap dunia itu melalui jendela di sampingku, ia membingkai tiap jengkal panorama yang tak ingin kulepaskan. Di sana dulu masih dapat kulihat pantai dengan latar belakang laut biru yang berkilau, dan senyumannya yang menghentikan aliran waktu membekas selalu. Ia yang tercantik dari seluruh pemandangan Langit-Bumi.
  Kupenjamkan mataku untuk melihat kembali semuanya yang dulu masih dapat kulihat meski tak harus dengan mata tertutup. Di jengkal goresan kenanganku, ia masih disitu.

***

Aku adalah lantunan melodi ringan dari tanah Eden
Jiwa yang keras terbelenggu rantai ribuan zaman
Jatuh cinta pada angin
Belenggu ini semakin erat mengikat
Perasaan yang bimbang ini
Mencampakkanku
Ke sungai beku jutaan tahun
Jatuh cinta pada angin
Aku hilang dalam derai musik
Roda-roda waktu yang terhampar di jutaan musim

 Bahkan suaranya membuat angin menjadi tenang. Ia mengusik langit malam dengan alunan yang memanjakan. Aku mengenal seluruh Langit dan Bumi, dan aku mengenalnya. Nebel, Sang Penjaga Kuil Neptunus.
 Ketika kereta kencanaku menembus awan berarak dan menukik semakin rendah menuju laut, ia seketika menghentikan lantunannya. Kilauan para peri laut Thetis mengelilingi dia yang duduk tenang di atas singgasana karang yang putih tulang, ekornya yang keperakan menyentak menciptakan bulir air memercik dan terciptalah para Thetis dari bulir-bulir air itu. Cahaya mereka di sekelilingnya membuat ia lebih berkilau dari bintang.
 Ia tersenyum dan menunduk sedikit, memberi penghormatan dengan cara yang dapat membuat jantungku bertalu keras. Pertama kalinya aku dan dia bertegur sapa, aku tak pernah menyadari bahwa dialah satu-satunya makhluk Bumi yang dapat menggerakkan hatiku.


Kembali kurasakan detakan waktu melambat ketika kutahu bahwa ia telah mengakibatkan keributan besar di lantai langit.
Dia adalah gadis yang paling berani yang pernah kutahu, sebab dengan status sebagai penjaga kuil saja ia telah secara terang-terangan menentang takdir dari Langit. Ia mencuri senjata trisula Neptunus untuk meredam tsunami besar yang seharusnya menenggelamkan seluruh Bumi. Meski ia tak dapat menyelamatkan Atlantis, namun separuh dunia bergerak maju tanpa henti karena keberaniannya itu.
Pembuangan di sudut Neraka adalah tempat bagi yang membelokkan takdir. Tak mungkin kubayangkan saat-saat ia jadi abu di tempat mengerikan itu. Dan satu langkah yang kulakukan tanpa berpikir untuk pertama kalinya adalah menyelamatkan dia dari hukumannya. Melarikannya dengan bantuan dua pengawal setiaku, Fobos dan Deimos.


Melarikan diri dari ribuan tentara Jupiter—Raja para Dewa—adalah kesia-siaan, kedua pengawal setiaku mengingatkan setiap detik. Aku tak mendengarkan mereka, hingga aku tahu bahwa mereka benar. Bahkan dengan kekuasaanku, aku tak sanggup lari dari takdir Langit dan Bumi. Aku bersalah sepenuhnya saat hukumannya menjadi lebih berat karena melarikan diri dan jatuh cinta padaku.
 Aku merasa menjadi makhluk terlemah karena memikirkannya. Kubiarkan diriku tenggelam dalam keputusan pengadilan langit. Inilah titik terlemahku ketika aku tak dapat berbuat apa pun untuk menyelamatkannya sekali lagi. Saat para petinggi di lantai langit mengemukakan pendapat dan bergerak untuk melaksanakannya, aku hanya bisa terdiam menerima hukumanku.
 Aku akan manerima hukuman apa pun, kecuali melihatnya menjadi abu di Neraka. Lalu ketika Venus sekilas melirik ke arahku dalam persidangan itu, segera pikiranku seperti disirami embun pagi dari Kerajaan Pelangi.

***

Aku tersentak oleh sapaan seorang pelayan café yang menanyakan apakah aku ingin memesan yang lainnya selain kopi. Aku hanya menggeleng dan kemudian membiarkan ia pergi.
Lamunanku tentang kenangan masa lalu itu buyar sudah. Kuhembuskan nafas, kurasakan aliran udara memenuhi paru-paru dan aliran darah yang berdenyut-denyut di nadiku. Raga manusia ini terasa begitu rapuh.
Kualihkan pandangan keluar jendela. Ia membingkai langit dan matahari keunguan yang mengambang di awan kelam. Aku beranjak dari kursiku, melangkah keluar café.
Dan, pandanganku seketika tersudut pada sosok yang selalu dapat menghentikan aliran waktuku. Dia, di toko bunga di seberang jalan itu. Tak berubah sedikit pun. Kulitnya putih seperti salju, matanya sebiru lautan menenggelamkan, rambutnya tergerai ikal keemasan, ia seperti roh lautan yang tersesat di daratan.
Kucoba tenangkan detak jantungku yang tak henti menggenderang. Dia adalah satu-satunya makhluk dunia yang membuatku tak dapat berpikir, hingga pertamakalinya aku memohon untuk satu nyawa. Kala itu kumohon bantuan pada Venus agar menyelamatkannya dari hukuman terasing di dalam penjara api yang menyiksa, mengingat bahwa ia tak pantas menjadi abu di Neraka karena telah menyelamatkan manusia dari bencana besar, karena aku melarikannya dari hukuman, karena ia mencintaiku. Dan ia pun dilempar ke dunia manusia untuk satu karmanya.  Terlahir sebagai manusia yang baru tanpa segala ingatan kehidupannya terdahulu.
Sementara itu untuk menebus segala kesalahanku, saat ini aku harus menjalani hukuman dari langit, terkurung di dalam raga manusia biasa ini. Dan apabila aku mengulangi kesalahan yang sama—menentang takdir Langit-Bumi, maka dia akan berakhir sebagai kabut di atas hamparan lautan yang dikuasai Neptunus dan aku akan menjadi makhluk tak berguna yang terbuang.
 Hampa ini terlalu dalam ketika aku kini berdiri di hadapannya namun hanya dapat melihatnya saja. Seolah ada lubang kosong di dadaku kala kuingat bahwa ia telah melupakan aku dan kenangan yang pernah ada di dalam dirinya dulu, bahwa ia  sejak dulu tak pernah mengetahui siapa aku sesungguhnya, dan bahwa ia mungkin tak pernah tahu betapa aku juga mencintainya.
Seekor kupu-kupu melewatiku. Menyadarkan aku bahwa langkahku telah semakin dekat ke arahnya, sang gadis penjual bunga. Kutatap kupu-kupu itu terbang semakin tinggi ke langit, makhluk cantik itu digunakan Venus sebagai matanya untuk mengawasi segala kejadian di seluruh dunia. Aku tersenyum hambar, mengerti bahwa Venus tak pernah berhenti mengawasiku.
Selain Fobos dan Deimos, Sang Dewi Cinta Venus adalah yang selalu mengingatkanku agar tak melakukan kesalahan lagi. Mereka mungkin sedikit yang tak ingin seorang Dewa Perang Mars meringkuk di sudut Neraka karena membelokkan takdir, melakukan tindakan bodoh karena mencintai manusia biasa atau makhluk indah dari Kuil Neptunus.[]