Cinta,
apa yang dapat terjadi karena cinta?
Apa
yang dapat terjadi karena cinta?
Dunia
menjadi gila, langit jadi berwarna.
Seindah
syair lantunan do’a seribu Malaikat Surga.
Terukir
di gelap malam untaian bintang.
Oh,
kekasihku.
Tak
ada matahari, tak ada bulan dan bintang, dan dentang siang malam.
Hanya
ada kau, hanya kau saja.
Hanya
kau saja...
Digubahnya sebait puisi kala bulan
berkilau keemasan di kelam malam. Ditatapnya wanita yang sedang duduk di hadapannya.
Bukan kecantikannya saja yang sanggup menarik hati seluruh pria di dunia,
tetapi juga kecerdasannya yang tiada tara melampaui kebanyakan pria di masa
ini. Ia adalah wanita yang dapat meruntuhkan hati siapa saja cukup dengan satu
senyuman dan pandangan mata.
Namun,
bukan karena eloknya paras rupa atau kecerdasan luar biasa itu, wanita ini akhirnya
berhasil mengambil tempat tertinggi di hatinya, melainkan karena keberanian
luar biasa yang telah ia tunjukan. Keberanian yang mungkin tak semua orang
sanggup melakukannya.
Ia
tahu, wanita ini menikahinya bukan karena mencintainya tetapi karena mencintai
ayahnya dan rakyat pulaunya.
Alena,
putri dari Aneas-si-pemabuk dan penjudi dari Pulau Naxos. Meski harus memaksa
atau menghancurkan seluruh dunia, asalkan wanita ini bisa menjadi miliknya akan
dilakukannya apa saja. Ya, apa saja!
Ia dapat menaklukan
segalanya. Negara-negara, pulau-pulau, dan segalanya.
Dan segalanya?
***
Shahin akhirnya mengerti bagaimana
satu ciptaan bernama wanita mampu mengacaukan seisi dunia. Dia melihatnya kini,
di hadapannya, wujud ciptaan itu yang telah mengacaukan hari-hari
jenderalnya—dan mungkin juga dapat mengacaukan harinya. Alena, wanita Pulau
Naxos, putri dari Aneas.
Sekilas
Shahin menatap paras itu saat pandangannya menyeberangi api unggun. Dia sangat
cantik—entah mengapa, meski tubuhnya hanya terbalut pakaian kumuh rakyat biasa.
Mungkin kecerdasan dan keberaniannya lah yang telah membuatnya terlihat luar
biasa menawan.
Wanita
ini berani bernegosiasi dengan seorang Jenderal Persia yang kini menguasai
pulau tempatnya tinggal. Dimanfaatkannya rasa ketertarikan sang Jenderal
padanya. Ia tawarkan suatu pertukaran, persetujuannya untuk menikahi sang
Jenderal dengan kebebasan ayahnya beserta puluhan orang yang ditawan Pasukan
Persia karena dianggap dapat membahayakan bagi keberadaan Pasukan Persia di
Pulau Naxos jika mereka dalam keadaan bebas. Dan sang Jenderal menyetujui
begitu saja perjanjian yang ditawarkan wanita itu. Sungguh suatu kegilaan,
pikir Shahin.
Dan kegilaan
berikutnya adalah ia ditugaskan untuk menjaga wanita itu. Sebagai Pasukan Abadi
Kekaisaran Persia sesungguhnya bukan tugasnya menjaga wanita jenderalnya, tapi
itulah yang kini harus dilakukannya. Ia ditugaskan untuk memastikan bahwa
wanita itu tak akan melakukan kecurangan atas kepercayaan yang diberikan sang
Jenderal padanya, karena sang Jenderal tahu wanita ini punya kecerdasan yang
cukup untuk dapat melakukan itu. Wanita ini mungkin tak akan melarikan diri
selama ayahnya dan orang-orang yang ingin dibebaskannya masih berada dalam
tawanan, tapi ia bisa saja melakukan kecurangan setiap saat yang dapat
menguntungkan dirinya sendiri dan mengakibatkan perjanjian antara dia dan sang
Jenderal tidak berlaku lagi.
“Kenapa kau menjadi bagian dari Pasukan Abadi
Persia?” Alena membuka suara, meleburkan hening di sekitarnya. Hari ini ia masih
dibiarkan bebas berjalan kemana pun ia mau sampai pernikahannya esok malam,
dimanfaatkannya hal itu untuk mengunjungi beberapa korban perang sejak pagi,
memberikan pengobatan kepada mereka seperti yang pernah dipelajarinya dari
ayahnya. Dan menjelang malam kini ia akan kembali ke wilayah perkemahan Pasukan
Persia, sesaat ia meminta waktu untuk beristirahat kepada seorang pasukan yang
ditugaskan untuk mengawalnya atau tepatnya mengawasinya kemana pun ia pergi.
Shahin
adalah pria yang menjalankan tugasnya tanpa banyak bicara. Alena sampai mengira
bahwa ia bisu. Beberapa pertanyaan Alena hanya dijawabnya dengan anggukan, atau
tidak dijawabnya sama sekali. Seperti saat ini ketika Alena mengajukan
pertanyaan padanya, ia mengabaikannya, sebab dirasanya tidak perlu wanita itu
tahu banyak tentang isi pikirannya.
“Apa
karena kau suka berperang?” Alena melanjutkan pertanyaannya yang belum
mendapatkan jawaban dengan pertanyaan baru. “Apakah perang jauh lebih baik
daripada kedamaian?”
Shahin
mengangkat alisnya. Apakah perang jauh
lebih baik daripada kedamaian? “Entahlah untuk yang lain. Tapi aku tak
pernah menginginkan peperangan apa pun. Aku adalah bagian Pasukan Abadi Persia,
dan aku hanya menjalankan apa yang dikehendaki Kekaisaran Persia, apa yang
dikehendaki pemimpinku.” Diakui Shahin, wanita itu pandai menjadikannya banyak
bicara melebihi biasanya.
“Kau
mengikuti ambisi pemimpinmu, dan aku mengikuti ambisi hidupku.” Alena
tersenyum. “Ambisiku yang harus kulakukan sebelum aku mati. Sebentar lagi.” Ia
menghembuskan napas, lalu menatap ke arah Shahin. Yang ditatap menundukkan pandangannya,
bukan tidak hormat. Alena mengerti, bahwa tampaknya pria itu sedang merasa tak
pantas menatap dirinya, karena ia adalah Alena wanita jenderalnya. Sikap pria
itu mengundang senyuman di wajah Alena ketika ia melanjutkan kalimatnya lagi. “Kau
tahu ayahku? Aneas. Tentu kau tahu. Kau bisa menyebutnya sebagai pemabuk dan
penjudi. Kau tahu kenapa seorang seperti dia ditangkap dan dianggap berbahaya?”
Shahin
tahu itu, tapi ia tak menjawab. Dibiarkannya wanita itu bicara tanpa memotong
ucapannya sedikit pun.
“Karena
ayahku punya otak yang cerdas dan pengaruh luar biasa di Pulau Naxos.” Alena
melanjutkan kalimatnya. “Ayahku bukan sekedar pemabuk atau penjudi seperti
sekarang. Sebelum itu ayahku adalah seorang dokter. Namun ketika ia tidak
berhasil menyembuhkan sakit ibuku hingga akhirnya ibuku meninggal, ayahku mulai
kehilangan dirinya. Dari seorang dokter ia berubah menjadi pemabuk dan
penjudi.” Alena memalingkan pandangannya ke langit. Dicegahnya air mata yang
sedang ingin menerobos keluar.
Hening
sesaat membuat Shahin mengarahkan pandangannya pada wanita di seberang api
unggun. Dan terkaget ia ketika dilihatnya kesedihan yang menumpuk di paras
wanita itu.
“Aku
juga akan mati. Sama seperti ibuku,” Alena melanjutkan dengan suara bergetar.
“Aku sakit. Sama sepertinya. Aku tahu waktuku akan segera habis, aku tahu
karena aku mengerti ilmu kedokteran. Aku menghabiskan hari-hariku dengan
mempelajarinya diam-diam.”
Keterkejutan
Shahin bertambah kala mendengar pengakuan itu. Wanita itu akan mati karena sakit? Benarkah?
“Ya.
Tidak ada yang dapat hidup selamanya. Tapi setiap orang dapat memanfaatkan
waktunya yang tersisa untuk menjalani hidup yang diinginkan, bukan?” Alena
menoleh ke arah Shahin berharap pria itu akan memberinya satu jawaban.
Dan
Shahin yang tampak terkejut bertemu pandang dengan Alena hanya menjawab dengan
anggukan kaku.
“Aku
juga ingin melakukan apa yang kuinginkan sebelum aku mati. Aku ingin memenuhi
segala ambisiku. Aku ingin berlari bebas di atas tanahku sendiri, setiap waktu,
kesana kemari tanpa dibatasi, membantu setiap orang sakit di Pulau Naxos ini,”
ujar Alena. “Tapi, itu menjadi sulit ketika kalian datang. Dan ketika
jenderalmu menginginkanku sebagai istrinya.” Alena beranjak berdiri dan
berjalan ke arah Shahin. “Shahin, besok aku akan menikahi jenderalmu. Bersamaan
dengan itu, dia akan membebaskan ayahku beserta tawanan lainnya. Itulah
perjanjian kami.” Alena lalu duduk di samping Shahin dan berkata dengan suara
berbisik seolah ia tak ingin seorang pun mendengar ucapannya. “Aku menukarkan
kata setuju kepadanya untuk kebebasan teman-temanku. Tapi aku tidak menukarkan
tubuhku untuk melayaninya sebagai istrinya. Jadi, jika aku pergi setelah
pernikahan kami, apakah itu salah?”
Alis
Shahin terangkat. Apa maksud wanita ini?
“Shahin,
aku tidak salah.” Alena menjawab pertanyaannya sendiri. “Aku akan memenuhi janjiku.
Jenderalmu juga begitu.” Ia masih berkata dengan suara yang sangat kecil namun
tetap terdengar tegas. “Dan setelah kami telah memenuhi janji masing-masing,
kau akan kuperlukan di sana. Jadi, jangan lepaskan pandanganmu dariku!
Mengerti?”
“A,
apa?” Shahin tergugup tak mengerti.
“Ketika
malam pertama, Jenderal akan sibuk sebelum menemuiku, kau datanglah ke tendaku
mendahului jenderalmu. Kau akan membawaku pergi melalui jalan yang aman.” Alena
berkata tegas seperti menyatakan satu permintaan bantuan dan perintah sekaligus
yang tak inginkan bantahan. “Shahin, lakukan itu agar jenderalmu dan aku
sama-sama bisa memenuhi janji kami.”
Shahin
merasa seharusnya ia bisa membantah dengan keras, namun tatapan wanita itu
entah mengapa membuatnya terdiam saja.
“Shahin,
jangan biarkan aku melakukan yang takkan kau inginkan. Karena aku bisa menjadi
kehancuran yang memalukan bagi jenderalmu dan negerimu jika aku berada di sisi jenderalmu
itu.” Alena memasang raut wajah sangat serius akan ucapannya. “Jadi, datanglah
malam itu. Aku akan menunggumu.”
Shahin
tercenung.
“Anggukkan
kepalamu jika kau mengerti! Pasukan Abadi Kekaisaran Persia tidak menjawab
dengan lamunan!” Suara wanita itu meninggi membuat Shahin seketika terlempar
pada sudut pikiran yang bingung.
Shahin
mengangguk kaku. Ia bingung, kenapa ia mengangguk begitu?
Alena
tersenyum puas. “Bagus.”
***
Kekaisaran Persia berkembang
semakin besar saat Jenderal Persia, Mardonius, menaklukan banyak Negara dan
menggabungkannya ke dalam Persia. Wilayah kekuasaan Persia membentang dari
Makedonia di Barat sampai Pakistan di Timur. Dari sungai Syrdarýa di pegunungan
Kaukassus di Utara hingga gurun pasir Libya dan Teluk Persia di Selatan.
Lalu pada 546 SM, Raja
Persia Cyrus The Great menaklukan Yunani dan menggabungkannya ke dalam satu wilayah pembayar
pajak bersama dengan suku-suku Pamphylia, Lykia, Magnesia, Aeolia, Milya dan
Karia. Berada di bawah Kekaisaran Persia selama hampir 50 tahun kemudian menimbulkan
rasa ketidaksenangan bagi orang-orang Yunani hingga mereka pun memberontak.
Pemberontakan akhirnya dapat dipadamkan dalam waktu enam tahun yang menjadikan
banyak darah tertumpah, kota para pemberontak diluluhlantahkan dan penduduknya
dibunuh atau ditawan sebagai budak. Suatu hubungan sejarah yang panjang di
antara Kekaisaran Persia dan Tanah Yunani.
Alena mengetahui
sejarah itu dari kisah-kisah para sahabat ayahnya. Dan ia semakin ingin tahu
tentang Persia ketika sekelompok pasukan dari negeri itu mendatangi pulau-pulau
Yunani di laut Aegea dan menaklukan Pulau Naxos yang merupakan tanah tempat
tinggalnya, juga merupakan pulau terbesar di laut Aegea.
Alena lalu berjudi
dengan kehidupan, demi menyelamatkan ayah dan teman-temannya dari penahanan
Pasukan Persia. Ia manfaatkan kecantikan parasnya demi menarik hati sang
Jenderal yang memimpin Pasukan Abadi Persia menaklukan tanahnya. Ia berhasil.
Satu perjanjian yang menguntungkannya ia buat dengan sang Jenderal ketika itu.
Sembari mengingat
kejadian yang telah lalu, Alena menatap dirinya di cermin. Malam ini, beberapa
jam lalu pernikahannya berlangsung dan bersamaan dengan itu sang Jenderal telah
membebaskan para tawanan di hadapannya. Sang Jenderal menepati janjinya.
Semuanya sesuai rencananya.
Saat ini ia
sedang menunggu, apakah semuanya memang akan sesuai rencana. Jika iya, maka
pion lain akan bergerak ke arahnya dan membawanya pergi sebelum ia harus
menghadapi sang Jenderal di atas ranjang dan harus mengatur siasat baru
karenanya.
Alena berhenti
berpikir seketika dan matanya melebar saat tendanya tersibak dan Shahin muncul
dengan tergesa. “Ayo pergi! Semuanya sedang berpesta, kau bisa pergi tanpa
diketahui,” Shahin berkata.
“Kau datang
untukku?”
“Aku tidak datang
untukmu, tapi untuk menghindarkan jenderalku dari hal buruk yang mungkin akan
kau lakukan padanya. Aku tidak akan melakukan sesuatu apa pun demi dirimu,”
tegas Shahin sembari menarik tangan Alena. “Cepatlah sebelum Jenderal datang!”
Alena tersenyum
seraya melangkah mengikuti Shahin tanpa banyak bicara. Semuanya telah berjalan
sesuai rencananya.
***
Tidak pernah ada suatu rencana yang
dapat berjalan dengan sempurna seutuhnya, Alena mengetahui itu. Tapi ia tetap
melakukan apa yang telah direncanakannya dengan risiko yang telah
diperhitungkannya, melarikan diri dengan risiko kemungkinan akan diketahui dan
akan diburu oleh banyak sekali pasukan sang Jenderal.
Sesuai perkiraan
Alena. Ketika akhirnya pelariannya diketahui, ia memang telah melarikan diri
cukup jauh bersama Shahin, namun pasukan-pasukan itu tetap dapat menemukan
mereka. Perjudian yang ia lakukan terhadap dirinya kini membawanya kepada jalan
bercabang, yang satunya akan mengarah kepada kebebasan dan yang satu lagi akan
mengarah pada kehancurannya. Dan ia tak tahu akan kemana jalan di depannya
kini, sesuatu yang tak diperkirakannya bisa saja terjadi. Dan saat ini ia hanya
melakukan yang bisa dilakukannya, terus berlari.
Pasukan-pasukan itu mendapati Shahin
dan Alena dengan cepat tanpa terduga. Mereka hujankan panah dari kejauhan ke
arah kedua orang yang sedang berlari melintasi hutan itu.
Dan ketika
sebuah anak panah melesat tepat ke arah punggung Alena, Shahin segera bergerak
untuk melindungi wanita itu hingga akhirnya anak panah itu menembus punggungnya
sendiri dan menjatuhkannya ke tanah. Saat menyadari hal itu, Alena menjerit
tanpa terbendung.
“Apa? Apa? Apa
yang kau lakukan?” Alena panik, ia tidak menduga sedikit pun hal seperti itu
akan dilakukan pria itu untuknya.
Shahin
berusaha bangkit berdiri sembari memegang erat pedang di tangannya. “Larilah!
Cepat Lari!” Didorongnya Alena menjauhinya sembari berteriak. “LARI!”
“Kita
akan lari bersama-sama! Aku tidak mau berutang nyawaku padamu! Bukankah kau bilang
tak akan melakukan apa pun demi aku?” Alena berteriak marah. Dibantunya Shahin
berdiri. “Kita lari bersama-sama!”
Shahin
mendorong Alena darinya. “Pergilah. Atau kesempatanmu akan habis. Jika kau
ingin berjudi, berjudilah dengan kehidupan orang lain saja, jangan dengan
kehidupanmu sendiri.”
Alena
terpaku karena terkejutnya menyadari bahwa Shahin kemungkinan telah mengetahui
bahwa dia hanya dimanfaatkan. Namun kenapa dia tetap mau dimanfaatkan? Kenapa?
Karena terkejut
dan bingung Alena bahkan masih terdiam di tempatnya ketika Shahin berlari
menghampiri para pasukan yang berhasil menemukan mereka dan mengangkat
pedangnya menghalangi pasukan-pasukan itu. Dan ketika Alena menyadari apa yang
telah dilakukannya dengan melibatkan seorang pasukan—bukan—seorang pria yang
sangat baik, ia menjadi merasa bersalah. Karenanya tanpa banyak berpikir,
diambilnya batu atau kayu yang dapat ditemukannya dan maju menyerang ke dalam
sekelompok pria yang sedang bertarung pedang. Alena tidak akan pernah meninggalkan
orang baik yang telah membahayakan jiwa untuk membantunya.
Alena
dan Shahin tidak mungkin mengalahkan pasukan berjumlah puluhan. Dan hanya dalam
hitungan menit, keduanya dibuat bertekuk lutut oleh para pasukan itu bersamaan
dengan kemunculan sang Jenderal.
Sang
Jenderal datang bersama amarah besar yang tersirat di wajahnya. Namun hal itu tak
tampak oleh Alena yang lebih memperhatikan keadaan Shahin yang berada
disampingnya dalam keadaan yang sangat buruk, anak panah menembus punggung
Shahin dan lengan serta perutnya berdarah akibat pertarungan pedang beberapa
saat lalu. Alena sedang memikirkan satu jalan keluar untuk mereka berdua saat pedang
di tangan sang Jenderal telah terhunus melayang ke arah tubuh Shahin.
Dan
yang Alena lakukan berikutnya adalah sesuatu yang tidak diduga oleh siapa pun
bahkan termasuk dirinya sendiri. Dengan tubuhnya ia menghalangi pedang yang
ditujukan kepada Shahin, sehingga pedang itu akhirnya menembus punggung hingga
dadanya. Alena tidak pernah bertindak tanpa berpikir, namun kali ini ia telah
melakukan kebalikan dari kebiasaannya. Alena merasa ini akan cukup adil untuk
pria baik hati yang telah dimanfaatkannya.
Bukan
main terkejutnya sang Jenderal saat itu. Ia membeku di tempatnya, wanita itu
yang tertusuk pedang namun ia yang merasakan sesak hingga napasnya terasa
habis. Seperti dia, Shahin pun tak dapat menyimpan keterkejutannya, tubuhnya
menjadi kaku karenanya.
Alena di hadapan
Shahin, menatap pria itu sembari tersenyum. Diucapkannya apa yang ia pikirkan
saat itu. “Maafkan aku karena memanfaatkanmu. Maafkan aku karena menyia-nyiakan
kebaikanmu,” Alena berkata terbata. “Aku tidak bisa hidup memikul utang
kehidupanku kepada orang sebaik dirimu. Shahin, kau pria terbaik yang pernah
kukenal selain ayahku.” Ia tetap tersenyum hingga akhir kalimatnya. “Terima
kasih.”
Shahin
masih terpaku kaku ketika tubuh wanita itu jatuh dihadapannya. Udara semakin
terasa sulit diteguknya, mengeringkan tenggorokannya yang berat dan menyesakkan
paru-parunya yang kosong. Air mata Shahin keluar tanpa ia tahu mengapa saat
kemudian tubuhnya jatuh di samping tubuh wanita itu. Ia akan mati. Dan ini
pertama kali dalam hidupnya ia tak menyesali apa pun ketika napasnya terasa
sulit untuk ia hembuskan lagi. Ia akan mati demi satu ciptaan yang tanpa ia
sadari telah menaklukan hatinya.
Dan,
seperti orang gila, sang Jenderal berteriak-teriak kemudian. “Carikan obat!
Dokter! Tabib! Dukun! Penyihir! Siapa saja! Selamatkan istriku!” Sang Jenderal
membuang pedangnya yang berlumuran darah. Diraihnya tubuh Alena dan dipeluknya
wanita itu sembari tanpa henti meneriaki pasukannya yang berada di
sekelilingnya. “Pergilah! Pergi kalian semua! Bawa dokter ke sini! Cepat!!”
Mendengar
kepanikan sang Jenderal, seluruh pasukan yang berada di sekitarnya segera
berlarian pergi, menjalankan perintahnya untuk mencari seorang dokter. Hingga sang
Jenderal akhirnya tertinggal sendirian di sana bersama kedua tubuh yang tak
bergerak itu.
Sang Jenderal menyandarkan tubuh
Alena pada sebatang pohon di hadapannya. Tubuh itu basah oleh darah, tak
bergerak lagi. Pedangnya mungkin telah mengoyak jantung wanita itu. Pedangnya—
Tidak
lagi diingatnya bahwa wanita di hadapannya itu telah menipunya dan berniat
melarikan diri bersama salah seorang pasukannya yang dipercayainya. Saat ini
yang diingatnya hanyalah ia telah hunuskan pedang ke arah wanita itu dan ia
telah membuat pergi satu jiwa yang amat dicintainya.
Seperti
seorang yang gila, Sang Jenderal menggubah sebait puisi kala cahaya bulan
berkilau-kilau menembus rimbun pepohonan.
...
Apa
yang dapat terjadi karena cinta?
Apa
yang dapat terjadi karena cinta?
Memiliki
kehilangan
...
“Sakit sekali. Sulit sekali
bernapas,” sang Jenderal berkata. “Alena, kau boleh memanfaatkan aku, lakukan
saja. Tapi jangan meninggalkanku. Kenapa kau tidak memberiku sedikit
kesempatan? Alena, jawablah!” Sang Jenderal menatap Alena sembari
menyunggingkan senyum di wajah muramnya. “Aku adalah Jenderal yang dapat menaklukan
segalanya. Negeri-negeri, pulau-pulau, dan...” Sang Jenderal berhenti sejenak
sebelum ia melanjutkan kalimatnya lagi. “Dan perasaanku. Aku dapat menaklukannya.
Perasaanku, Alena. Kenapa begitu menyakitkan melebihi sayatan pedang?”
Diraihnya tangan Alena dan digenggamnya erat. Pipinya lalu basah oleh air mata
yang tak pernah dikeluarkannya bahkan untuk banyak sekali kepedihan yang
dialaminya sebelum ini. “Aku mencintaimu, Alena.” Sang Jenderal berkata lirih.
“Berikan kesempatan untukku mencintaimu, jika kita bertemu kembali di kehidupan
yang lain, nanti. Katakan iya, dan aku akan menemukanmu dimana pun itu.
Katakan, iya.”
Dan,
hanya angin yang menerpa dedaunan yang menjawab perkataan sang Jenderal yang
bertepuk sebelah tangan.[]
_____________________________________
Note :
Diikutsertakan dalam lomba cerpen House of Romance - Unforgettable Love
Juara 2 Lomba Cerpen House Of Romance - Unforgetteble love (Mei 2012)
No comments:
Post a Comment