Hi!

"If Nothing Ever Changed, There'd Be No Butterflies."

April 20, 2012

[Unforgettable Love] Kisah yang hilang di Pulau Naxos




Cinta, apa yang dapat terjadi karena cinta?
Apa yang dapat terjadi karena cinta?
Dunia menjadi gila, langit jadi berwarna.
Seindah syair lantunan do’a seribu Malaikat Surga.
Terukir di gelap malam untaian bintang.
Oh, kekasihku.
Tak ada matahari, tak ada bulan dan bintang, dan dentang siang malam.
Hanya ada kau, hanya kau saja.
Hanya kau saja...

Digubahnya sebait puisi kala bulan berkilau keemasan di kelam malam. Ditatapnya wanita yang sedang duduk di hadapannya. Bukan kecantikannya saja yang sanggup menarik hati seluruh pria di dunia, tetapi juga kecerdasannya yang tiada tara melampaui kebanyakan pria di masa ini. Ia adalah wanita yang dapat meruntuhkan hati siapa saja cukup dengan satu senyuman dan pandangan mata.
            Namun, bukan karena eloknya paras rupa atau kecerdasan luar biasa itu, wanita ini akhirnya berhasil mengambil tempat tertinggi di hatinya, melainkan karena keberanian luar biasa yang telah ia tunjukan. Keberanian yang mungkin tak semua orang sanggup melakukannya.
            Ia tahu, wanita ini menikahinya bukan karena mencintainya tetapi karena mencintai ayahnya dan rakyat pulaunya.
            Alena, putri dari Aneas-si-pemabuk dan penjudi dari Pulau Naxos. Meski harus memaksa atau menghancurkan seluruh dunia, asalkan wanita ini bisa menjadi miliknya akan dilakukannya apa saja. Ya, apa saja!
Ia dapat menaklukan segalanya. Negara-negara, pulau-pulau, dan segalanya.
            Dan segalanya?

***

Shahin akhirnya mengerti bagaimana satu ciptaan bernama wanita mampu mengacaukan seisi dunia. Dia melihatnya kini, di hadapannya, wujud ciptaan itu yang telah mengacaukan hari-hari jenderalnya—dan mungkin juga dapat mengacaukan harinya. Alena, wanita Pulau Naxos, putri dari Aneas.
            Sekilas Shahin menatap paras itu saat pandangannya menyeberangi api unggun. Dia sangat cantik—entah mengapa, meski tubuhnya hanya terbalut pakaian kumuh rakyat biasa. Mungkin kecerdasan dan keberaniannya lah yang telah membuatnya terlihat luar biasa menawan.
            Wanita ini berani bernegosiasi dengan seorang Jenderal Persia yang kini menguasai pulau tempatnya tinggal. Dimanfaatkannya rasa ketertarikan sang Jenderal padanya. Ia tawarkan suatu pertukaran, persetujuannya untuk menikahi sang Jenderal dengan kebebasan ayahnya beserta puluhan orang yang ditawan Pasukan Persia karena dianggap dapat membahayakan bagi keberadaan Pasukan Persia di Pulau Naxos jika mereka dalam keadaan bebas. Dan sang Jenderal menyetujui begitu saja perjanjian yang ditawarkan wanita itu. Sungguh suatu kegilaan, pikir Shahin.
Dan kegilaan berikutnya adalah ia ditugaskan untuk menjaga wanita itu. Sebagai Pasukan Abadi Kekaisaran Persia sesungguhnya bukan tugasnya menjaga wanita jenderalnya, tapi itulah yang kini harus dilakukannya. Ia ditugaskan untuk memastikan bahwa wanita itu tak akan melakukan kecurangan atas kepercayaan yang diberikan sang Jenderal padanya, karena sang Jenderal tahu wanita ini punya kecerdasan yang cukup untuk dapat melakukan itu. Wanita ini mungkin tak akan melarikan diri selama ayahnya dan orang-orang yang ingin dibebaskannya masih berada dalam tawanan, tapi ia bisa saja melakukan kecurangan setiap saat yang dapat menguntungkan dirinya sendiri dan mengakibatkan perjanjian antara dia dan sang Jenderal tidak berlaku lagi.
             “Kenapa kau menjadi bagian dari Pasukan Abadi Persia?” Alena membuka suara, meleburkan hening di sekitarnya. Hari ini ia masih dibiarkan bebas berjalan kemana pun ia mau sampai pernikahannya esok malam, dimanfaatkannya hal itu untuk mengunjungi beberapa korban perang sejak pagi, memberikan pengobatan kepada mereka seperti yang pernah dipelajarinya dari ayahnya. Dan menjelang malam kini ia akan kembali ke wilayah perkemahan Pasukan Persia, sesaat ia meminta waktu untuk beristirahat kepada seorang pasukan yang ditugaskan untuk mengawalnya atau tepatnya mengawasinya kemana pun ia pergi.
            Shahin adalah pria yang menjalankan tugasnya tanpa banyak bicara. Alena sampai mengira bahwa ia bisu. Beberapa pertanyaan Alena hanya dijawabnya dengan anggukan, atau tidak dijawabnya sama sekali. Seperti saat ini ketika Alena mengajukan pertanyaan padanya, ia mengabaikannya, sebab dirasanya tidak perlu wanita itu tahu banyak tentang isi pikirannya.
            “Apa karena kau suka berperang?” Alena melanjutkan pertanyaannya yang belum mendapatkan jawaban dengan pertanyaan baru. “Apakah perang jauh lebih baik daripada kedamaian?”
            Shahin mengangkat alisnya. Apakah perang jauh lebih baik daripada kedamaian? “Entahlah untuk yang lain. Tapi aku tak pernah menginginkan peperangan apa pun. Aku adalah bagian Pasukan Abadi Persia, dan aku hanya menjalankan apa yang dikehendaki Kekaisaran Persia, apa yang dikehendaki pemimpinku.” Diakui Shahin, wanita itu pandai menjadikannya banyak bicara melebihi biasanya.
            “Kau mengikuti ambisi pemimpinmu, dan aku mengikuti ambisi hidupku.” Alena tersenyum. “Ambisiku yang harus kulakukan sebelum aku mati. Sebentar lagi.” Ia menghembuskan napas, lalu menatap ke arah Shahin. Yang ditatap menundukkan pandangannya, bukan tidak hormat. Alena mengerti, bahwa tampaknya pria itu sedang merasa tak pantas menatap dirinya, karena ia adalah Alena wanita jenderalnya. Sikap pria itu mengundang senyuman di wajah Alena ketika ia melanjutkan kalimatnya lagi. “Kau tahu ayahku? Aneas. Tentu kau tahu. Kau bisa menyebutnya sebagai pemabuk dan penjudi. Kau tahu kenapa seorang seperti dia ditangkap dan dianggap berbahaya?”
            Shahin tahu itu, tapi ia tak menjawab. Dibiarkannya wanita itu bicara tanpa memotong ucapannya sedikit pun.
            “Karena ayahku punya otak yang cerdas dan pengaruh luar biasa di Pulau Naxos.” Alena melanjutkan kalimatnya. “Ayahku bukan sekedar pemabuk atau penjudi seperti sekarang. Sebelum itu ayahku adalah seorang dokter. Namun ketika ia tidak berhasil menyembuhkan sakit ibuku hingga akhirnya ibuku meninggal, ayahku mulai kehilangan dirinya. Dari seorang dokter ia berubah menjadi pemabuk dan penjudi.” Alena memalingkan pandangannya ke langit. Dicegahnya air mata yang sedang ingin menerobos keluar.
            Hening sesaat membuat Shahin mengarahkan pandangannya pada wanita di seberang api unggun. Dan terkaget ia ketika dilihatnya kesedihan yang menumpuk di paras wanita itu.
            “Aku juga akan mati. Sama seperti ibuku,” Alena melanjutkan dengan suara bergetar. “Aku sakit. Sama sepertinya. Aku tahu waktuku akan segera habis, aku tahu karena aku mengerti ilmu kedokteran. Aku menghabiskan hari-hariku dengan mempelajarinya diam-diam.”
            Keterkejutan Shahin bertambah kala mendengar pengakuan itu. Wanita itu akan mati karena sakit? Benarkah?
            “Ya. Tidak ada yang dapat hidup selamanya. Tapi setiap orang dapat memanfaatkan waktunya yang tersisa untuk menjalani hidup yang diinginkan, bukan?” Alena menoleh ke arah Shahin berharap pria itu akan memberinya satu jawaban.
            Dan Shahin yang tampak terkejut bertemu pandang dengan Alena hanya menjawab dengan anggukan kaku.
            “Aku juga ingin melakukan apa yang kuinginkan sebelum aku mati. Aku ingin memenuhi segala ambisiku. Aku ingin berlari bebas di atas tanahku sendiri, setiap waktu, kesana kemari tanpa dibatasi, membantu setiap orang sakit di Pulau Naxos ini,” ujar Alena. “Tapi, itu menjadi sulit ketika kalian datang. Dan ketika jenderalmu menginginkanku sebagai istrinya.” Alena beranjak berdiri dan berjalan ke arah Shahin. “Shahin, besok aku akan menikahi jenderalmu. Bersamaan dengan itu, dia akan membebaskan ayahku beserta tawanan lainnya. Itulah perjanjian kami.” Alena lalu duduk di samping Shahin dan berkata dengan suara berbisik seolah ia tak ingin seorang pun mendengar ucapannya. “Aku menukarkan kata setuju kepadanya untuk kebebasan teman-temanku. Tapi aku tidak menukarkan tubuhku untuk melayaninya sebagai istrinya. Jadi, jika aku pergi setelah pernikahan kami, apakah itu salah?”
            Alis Shahin terangkat. Apa maksud wanita ini?
            “Shahin, aku tidak salah.” Alena menjawab pertanyaannya sendiri. “Aku akan memenuhi janjiku. Jenderalmu juga begitu.” Ia masih berkata dengan suara yang sangat kecil namun tetap terdengar tegas. “Dan setelah kami telah memenuhi janji masing-masing, kau akan kuperlukan di sana. Jadi, jangan lepaskan pandanganmu dariku! Mengerti?”
            “A, apa?” Shahin tergugup tak mengerti.
            “Ketika malam pertama, Jenderal akan sibuk sebelum menemuiku, kau datanglah ke tendaku mendahului jenderalmu. Kau akan membawaku pergi melalui jalan yang aman.” Alena berkata tegas seperti menyatakan satu permintaan bantuan dan perintah sekaligus yang tak inginkan bantahan. “Shahin, lakukan itu agar jenderalmu dan aku sama-sama bisa memenuhi janji kami.”
            Shahin merasa seharusnya ia bisa membantah dengan keras, namun tatapan wanita itu entah mengapa membuatnya terdiam saja.
            “Shahin, jangan biarkan aku melakukan yang takkan kau inginkan. Karena aku bisa menjadi kehancuran yang memalukan bagi jenderalmu dan negerimu jika aku berada di sisi jenderalmu itu.” Alena memasang raut wajah sangat serius akan ucapannya. “Jadi, datanglah malam itu. Aku akan menunggumu.”
            Shahin tercenung.
            “Anggukkan kepalamu jika kau mengerti! Pasukan Abadi Kekaisaran Persia tidak menjawab dengan lamunan!” Suara wanita itu meninggi membuat Shahin seketika terlempar pada sudut pikiran yang bingung.
            Shahin mengangguk kaku. Ia bingung, kenapa ia mengangguk begitu?
            Alena tersenyum puas. “Bagus.”

***

Kekaisaran Persia berkembang semakin besar saat Jenderal Persia, Mardonius, menaklukan banyak Negara dan menggabungkannya ke dalam Persia. Wilayah kekuasaan Persia membentang dari Makedonia di Barat sampai Pakistan di Timur. Dari sungai Syrdarýa di pegunungan Kaukassus di Utara hingga gurun pasir Libya dan Teluk Persia di Selatan.
Lalu pada 546 SM, Raja Persia Cyrus The Great menaklukan Yunani dan menggabungkannya ke dalam satu wilayah pembayar pajak bersama dengan suku-suku Pamphylia, Lykia, Magnesia, Aeolia, Milya dan Karia. Berada di bawah Kekaisaran Persia selama hampir 50 tahun kemudian menimbulkan rasa ketidaksenangan bagi orang-orang Yunani hingga mereka pun memberontak. Pemberontakan akhirnya dapat dipadamkan dalam waktu enam tahun yang menjadikan banyak darah tertumpah, kota para pemberontak diluluhlantahkan dan penduduknya dibunuh atau ditawan sebagai budak. Suatu hubungan sejarah yang panjang di antara Kekaisaran Persia dan Tanah Yunani.
            Alena mengetahui sejarah itu dari kisah-kisah para sahabat ayahnya. Dan ia semakin ingin tahu tentang Persia ketika sekelompok pasukan dari negeri itu mendatangi pulau-pulau Yunani di laut Aegea dan menaklukan Pulau Naxos yang merupakan tanah tempat tinggalnya, juga merupakan pulau terbesar di laut Aegea.
            Alena lalu berjudi dengan kehidupan, demi menyelamatkan ayah dan teman-temannya dari penahanan Pasukan Persia. Ia manfaatkan kecantikan parasnya demi menarik hati sang Jenderal yang memimpin Pasukan Abadi Persia menaklukan tanahnya. Ia berhasil. Satu perjanjian yang menguntungkannya ia buat dengan sang Jenderal ketika itu.
            Sembari mengingat kejadian yang telah lalu, Alena menatap dirinya di cermin. Malam ini, beberapa jam lalu pernikahannya berlangsung dan bersamaan dengan itu sang Jenderal telah membebaskan para tawanan di hadapannya. Sang Jenderal menepati janjinya. Semuanya sesuai rencananya.
            Saat ini ia sedang menunggu, apakah semuanya memang akan sesuai rencana. Jika iya, maka pion lain akan bergerak ke arahnya dan membawanya pergi sebelum ia harus menghadapi sang Jenderal di atas ranjang dan harus mengatur siasat baru karenanya.
            Alena berhenti berpikir seketika dan matanya melebar saat tendanya tersibak dan Shahin muncul dengan tergesa. “Ayo pergi! Semuanya sedang berpesta, kau bisa pergi tanpa diketahui,” Shahin berkata.
            “Kau datang untukku?”
            “Aku tidak datang untukmu, tapi untuk menghindarkan jenderalku dari hal buruk yang mungkin akan kau lakukan padanya. Aku tidak akan melakukan sesuatu apa pun demi dirimu,” tegas Shahin sembari menarik tangan Alena. “Cepatlah sebelum Jenderal datang!”
            Alena tersenyum seraya melangkah mengikuti Shahin tanpa banyak bicara. Semuanya telah berjalan sesuai rencananya.

***

Tidak pernah ada suatu rencana yang dapat berjalan dengan sempurna seutuhnya, Alena mengetahui itu. Tapi ia tetap melakukan apa yang telah direncanakannya dengan risiko yang telah diperhitungkannya, melarikan diri dengan risiko kemungkinan akan diketahui dan akan diburu oleh banyak sekali pasukan sang Jenderal.
Sesuai perkiraan Alena. Ketika akhirnya pelariannya diketahui, ia memang telah melarikan diri cukup jauh bersama Shahin, namun pasukan-pasukan itu tetap dapat menemukan mereka. Perjudian yang ia lakukan terhadap dirinya kini membawanya kepada jalan bercabang, yang satunya akan mengarah kepada kebebasan dan yang satu lagi akan mengarah pada kehancurannya. Dan ia tak tahu akan kemana jalan di depannya kini, sesuatu yang tak diperkirakannya bisa saja terjadi. Dan saat ini ia hanya melakukan yang bisa dilakukannya, terus berlari.

Pasukan-pasukan itu mendapati Shahin dan Alena dengan cepat tanpa terduga. Mereka hujankan panah dari kejauhan ke arah kedua orang yang sedang berlari melintasi hutan itu.
Dan ketika sebuah anak panah melesat tepat ke arah punggung Alena, Shahin segera bergerak untuk melindungi wanita itu hingga akhirnya anak panah itu menembus punggungnya sendiri dan menjatuhkannya ke tanah. Saat menyadari hal itu, Alena menjerit tanpa terbendung.
“Apa? Apa? Apa yang kau lakukan?” Alena panik, ia tidak menduga sedikit pun hal seperti itu akan dilakukan pria itu untuknya.
            Shahin berusaha bangkit berdiri sembari memegang erat pedang di tangannya. “Larilah! Cepat Lari!” Didorongnya Alena menjauhinya sembari berteriak. “LARI!”
            “Kita akan lari bersama-sama! Aku tidak mau berutang nyawaku padamu! Bukankah kau bilang tak akan melakukan apa pun demi aku?” Alena berteriak marah. Dibantunya Shahin berdiri. “Kita lari bersama-sama!”
            Shahin mendorong Alena darinya. “Pergilah. Atau kesempatanmu akan habis. Jika kau ingin berjudi, berjudilah dengan kehidupan orang lain saja, jangan dengan kehidupanmu sendiri.”
            Alena terpaku karena terkejutnya menyadari bahwa Shahin kemungkinan telah mengetahui bahwa dia hanya dimanfaatkan. Namun kenapa dia tetap mau dimanfaatkan? Kenapa?
Karena terkejut dan bingung Alena bahkan masih terdiam di tempatnya ketika Shahin berlari menghampiri para pasukan yang berhasil menemukan mereka dan mengangkat pedangnya menghalangi pasukan-pasukan itu. Dan ketika Alena menyadari apa yang telah dilakukannya dengan melibatkan seorang pasukan—bukan—seorang pria yang sangat baik, ia menjadi merasa bersalah. Karenanya tanpa banyak berpikir, diambilnya batu atau kayu yang dapat ditemukannya dan maju menyerang ke dalam sekelompok pria yang sedang bertarung pedang. Alena tidak akan pernah meninggalkan orang baik yang telah membahayakan jiwa untuk membantunya.
            Alena dan Shahin tidak mungkin mengalahkan pasukan berjumlah puluhan. Dan hanya dalam hitungan menit, keduanya dibuat bertekuk lutut oleh para pasukan itu bersamaan dengan kemunculan sang Jenderal.
            Sang Jenderal datang bersama amarah besar yang tersirat di wajahnya. Namun hal itu tak tampak oleh Alena yang lebih memperhatikan keadaan Shahin yang berada disampingnya dalam keadaan yang sangat buruk, anak panah menembus punggung Shahin dan lengan serta perutnya berdarah akibat pertarungan pedang beberapa saat lalu. Alena sedang memikirkan satu jalan keluar untuk mereka berdua saat pedang di tangan sang Jenderal telah terhunus melayang ke arah tubuh Shahin.
            Dan yang Alena lakukan berikutnya adalah sesuatu yang tidak diduga oleh siapa pun bahkan termasuk dirinya sendiri. Dengan tubuhnya ia menghalangi pedang yang ditujukan kepada Shahin, sehingga pedang itu akhirnya menembus punggung hingga dadanya. Alena tidak pernah bertindak tanpa berpikir, namun kali ini ia telah melakukan kebalikan dari kebiasaannya. Alena merasa ini akan cukup adil untuk pria baik hati yang telah dimanfaatkannya.
            Bukan main terkejutnya sang Jenderal saat itu. Ia membeku di tempatnya, wanita itu yang tertusuk pedang namun ia yang merasakan sesak hingga napasnya terasa habis. Seperti dia, Shahin pun tak dapat menyimpan keterkejutannya, tubuhnya menjadi kaku karenanya.
Alena di hadapan Shahin, menatap pria itu sembari tersenyum. Diucapkannya apa yang ia pikirkan saat itu. “Maafkan aku karena memanfaatkanmu. Maafkan aku karena menyia-nyiakan kebaikanmu,” Alena berkata terbata. “Aku tidak bisa hidup memikul utang kehidupanku kepada orang sebaik dirimu. Shahin, kau pria terbaik yang pernah kukenal selain ayahku.” Ia tetap tersenyum hingga akhir kalimatnya. “Terima kasih.”
            Shahin masih terpaku kaku ketika tubuh wanita itu jatuh dihadapannya. Udara semakin terasa sulit diteguknya, mengeringkan tenggorokannya yang berat dan menyesakkan paru-parunya yang kosong. Air mata Shahin keluar tanpa ia tahu mengapa saat kemudian tubuhnya jatuh di samping tubuh wanita itu. Ia akan mati. Dan ini pertama kali dalam hidupnya ia tak menyesali apa pun ketika napasnya terasa sulit untuk ia hembuskan lagi. Ia akan mati demi satu ciptaan yang tanpa ia sadari telah menaklukan hatinya.
            Dan, seperti orang gila, sang Jenderal berteriak-teriak kemudian. “Carikan obat! Dokter! Tabib! Dukun! Penyihir! Siapa saja! Selamatkan istriku!” Sang Jenderal membuang pedangnya yang berlumuran darah. Diraihnya tubuh Alena dan dipeluknya wanita itu sembari tanpa henti meneriaki pasukannya yang berada di sekelilingnya. “Pergilah! Pergi kalian semua! Bawa dokter ke sini! Cepat!!”
            Mendengar kepanikan sang Jenderal, seluruh pasukan yang berada di sekitarnya segera berlarian pergi, menjalankan perintahnya untuk mencari seorang dokter. Hingga sang Jenderal akhirnya tertinggal sendirian di sana bersama kedua tubuh yang tak bergerak itu.

Sang Jenderal menyandarkan tubuh Alena pada sebatang pohon di hadapannya. Tubuh itu basah oleh darah, tak bergerak lagi. Pedangnya mungkin telah mengoyak jantung wanita itu. Pedangnya—
            Tidak lagi diingatnya bahwa wanita di hadapannya itu telah menipunya dan berniat melarikan diri bersama salah seorang pasukannya yang dipercayainya. Saat ini yang diingatnya hanyalah ia telah hunuskan pedang ke arah wanita itu dan ia telah membuat pergi satu jiwa yang amat dicintainya.
            Seperti seorang yang gila, Sang Jenderal menggubah sebait puisi kala cahaya bulan berkilau-kilau menembus rimbun pepohonan.

...
Apa yang dapat terjadi karena cinta?
Apa yang dapat terjadi karena cinta?
Memiliki kehilangan
...

“Sakit sekali. Sulit sekali bernapas,” sang Jenderal berkata. “Alena, kau boleh memanfaatkan aku, lakukan saja. Tapi jangan meninggalkanku. Kenapa kau tidak memberiku sedikit kesempatan? Alena, jawablah!” Sang Jenderal menatap Alena sembari menyunggingkan senyum di wajah muramnya. “Aku adalah Jenderal yang dapat menaklukan segalanya. Negeri-negeri, pulau-pulau, dan...” Sang Jenderal berhenti sejenak sebelum ia melanjutkan kalimatnya lagi. “Dan perasaanku. Aku dapat menaklukannya. Perasaanku, Alena. Kenapa begitu menyakitkan melebihi sayatan pedang?” Diraihnya tangan Alena dan digenggamnya erat. Pipinya lalu basah oleh air mata yang tak pernah dikeluarkannya bahkan untuk banyak sekali kepedihan yang dialaminya sebelum ini. “Aku mencintaimu, Alena.” Sang Jenderal berkata lirih. “Berikan kesempatan untukku mencintaimu, jika kita bertemu kembali di kehidupan yang lain, nanti. Katakan iya, dan aku akan menemukanmu dimana pun itu. Katakan, iya.”
            Dan, hanya angin yang menerpa dedaunan yang menjawab perkataan sang Jenderal yang bertepuk sebelah tangan.[]

 _____________________________________
Note :
Diikutsertakan dalam lomba cerpen House of Romance - Unforgettable Love


Juara 2 Lomba Cerpen House Of Romance - Unforgetteble love (Mei 2012)

No comments:

Post a Comment