Pagi-pagi sekali aku
sudah duduk di sofa depan tivi. Bukan untuk nonton acara kegemaranku, melainkan
untuk disidang oleh Ayah.
Menyebabkan kaca jendela lantai dua pecah semua, meledakkan kamarku sendiri, menyimpan mayat manusia serigala di halaman. Segala tuduhan tertuju kepadaku tanpa dapat kubantah.
Sidang berakhir dengan sebuah hukuman, karena aku mengakui kesalahan maka aku hanya dihukum memberi makan ayam sebelum berangkat ke sekolah setiap hari dalam sebulan.
Hanya memberi makan ayam? Padahal aku berharap Ayah akan memberi hukuman yang lebih menantang.
Ketika aku melangkah keluar rumah, Ares―kakakku―melewatiku dengan tubuh berkucuran keringat. Dia baru saja menyelesaikan pekerjaan paginya di peternakan. “Ambilkan jam tanganku yang tertinggal di lumbung!” perintahnya. “Jangan mengurusi yang lainnya kecuali ayam!” tambahnya lagi sembari melangkah memasuki rumah.
Aku mengkerucutkan bibir. Ayah dan Ares memang tidak pernah mempercayaiku dalam segala hal, sebab mereka selalu berpikir kalau aku adalah sumber kekacauan dunia seolah semua yang kulakukan akan berakhir menggemparkan.
Aku berlari-lari kecil melintasi jalan setapak berkelok yang diapit pepohonan, menuju lumbung yang letaknya tiga ratus meter di seberang rumah kami.
Sebuah lumbung tua yang sangat besar dikelilingi pepohonan, berdinding kayu dengan kincir besar di atap yang tak berfungsi lagi. Di sini Ayah menyimpan berbagai macam makanan ternak kami. Ketika aku memasuki lumbung, segera tercium aroma yang campur aduk. Suasana sepi, hanya gesekan sandal dengan lantai yang terdengar berdetap-detap.
Di mana Ayah menyimpan pakan ayam? Dan di mana jam tangan Ares? Aku menoleh ke kiri dan kanan. Beberapa rak berderetan di kanan dengan kotak-kotak kayu besar di setiap barisnya terjejer rapi lengkap terselip semacam kartu yang bertuliskan nama pakan di dalam kotak beserta jumlahnya secara rinci. Sementara di sebelah kiri ada jerami yang ditumpuk tinggi-tinggi dan ember-ember besar tertutup rapat yang diberi nama-nama.
Ketika kuhampiri salah satu ember besar yang bertulis pakan ayam, aku melihat sesuatu berjalan keluar dari belakang tumpukan jerami. Sosok berlidah panjang dengan ujung lidah menyerupai ular, mendesis menatapku dengan sepasang mata merah menyala. Deret gigi runcing yang panjang dan besar tampak ketika ia membuka mulutnya, nyaris serupa kangguru dengan kaki belakang lebih panjang dari kaki depan, berkulit kasar dengan duri-duri panjang seperti kipas di sepanjang tulang belakang, dan dia berbau belerang.
Aku mundur perlahan, lalu berbalik lari keluar lumbung sekencang-kencangnya. “AREEEEESSSS!!! CHUPACABRA ITU LEPAS DARI KANDANG!” Aku berteriak lantang.
Dalam sekali lompat, makhluk itu telah muncul di depanku. Membuatku kaget dan terjengkang. Dan sebelum aku sempat menghindar, Chupacabra itu bergerak menerkam.
Ini adalah alasan lain mengapa Ayah dan Ares tak membiarkanku mengurus peternakan kecuali bagian kandang ayam. Terlalu berbahaya. Kami tak hanya punya satu Chupacabra, kami punya banyak yang seperti dia. Kami juga punya yang lainnya, enam ekor Unicorn, seekor Grifin, empat ekor Naga dan seekor Chimaera. Semuanya dibiarkan tetap pada naluri aslinya yang liar.
Tak asing semua itu di peternakan kami, para pemburu makhluk mitologi.
Menyebabkan kaca jendela lantai dua pecah semua, meledakkan kamarku sendiri, menyimpan mayat manusia serigala di halaman. Segala tuduhan tertuju kepadaku tanpa dapat kubantah.
Sidang berakhir dengan sebuah hukuman, karena aku mengakui kesalahan maka aku hanya dihukum memberi makan ayam sebelum berangkat ke sekolah setiap hari dalam sebulan.
Hanya memberi makan ayam? Padahal aku berharap Ayah akan memberi hukuman yang lebih menantang.
Ketika aku melangkah keluar rumah, Ares―kakakku―melewatiku dengan tubuh berkucuran keringat. Dia baru saja menyelesaikan pekerjaan paginya di peternakan. “Ambilkan jam tanganku yang tertinggal di lumbung!” perintahnya. “Jangan mengurusi yang lainnya kecuali ayam!” tambahnya lagi sembari melangkah memasuki rumah.
Aku mengkerucutkan bibir. Ayah dan Ares memang tidak pernah mempercayaiku dalam segala hal, sebab mereka selalu berpikir kalau aku adalah sumber kekacauan dunia seolah semua yang kulakukan akan berakhir menggemparkan.
Aku berlari-lari kecil melintasi jalan setapak berkelok yang diapit pepohonan, menuju lumbung yang letaknya tiga ratus meter di seberang rumah kami.
Sebuah lumbung tua yang sangat besar dikelilingi pepohonan, berdinding kayu dengan kincir besar di atap yang tak berfungsi lagi. Di sini Ayah menyimpan berbagai macam makanan ternak kami. Ketika aku memasuki lumbung, segera tercium aroma yang campur aduk. Suasana sepi, hanya gesekan sandal dengan lantai yang terdengar berdetap-detap.
Di mana Ayah menyimpan pakan ayam? Dan di mana jam tangan Ares? Aku menoleh ke kiri dan kanan. Beberapa rak berderetan di kanan dengan kotak-kotak kayu besar di setiap barisnya terjejer rapi lengkap terselip semacam kartu yang bertuliskan nama pakan di dalam kotak beserta jumlahnya secara rinci. Sementara di sebelah kiri ada jerami yang ditumpuk tinggi-tinggi dan ember-ember besar tertutup rapat yang diberi nama-nama.
Ketika kuhampiri salah satu ember besar yang bertulis pakan ayam, aku melihat sesuatu berjalan keluar dari belakang tumpukan jerami. Sosok berlidah panjang dengan ujung lidah menyerupai ular, mendesis menatapku dengan sepasang mata merah menyala. Deret gigi runcing yang panjang dan besar tampak ketika ia membuka mulutnya, nyaris serupa kangguru dengan kaki belakang lebih panjang dari kaki depan, berkulit kasar dengan duri-duri panjang seperti kipas di sepanjang tulang belakang, dan dia berbau belerang.
Aku mundur perlahan, lalu berbalik lari keluar lumbung sekencang-kencangnya. “AREEEEESSSS!!! CHUPACABRA ITU LEPAS DARI KANDANG!” Aku berteriak lantang.
Dalam sekali lompat, makhluk itu telah muncul di depanku. Membuatku kaget dan terjengkang. Dan sebelum aku sempat menghindar, Chupacabra itu bergerak menerkam.
Ini adalah alasan lain mengapa Ayah dan Ares tak membiarkanku mengurus peternakan kecuali bagian kandang ayam. Terlalu berbahaya. Kami tak hanya punya satu Chupacabra, kami punya banyak yang seperti dia. Kami juga punya yang lainnya, enam ekor Unicorn, seekor Grifin, empat ekor Naga dan seekor Chimaera. Semuanya dibiarkan tetap pada naluri aslinya yang liar.
Tak asing semua itu di peternakan kami, para pemburu makhluk mitologi.
Bersambung ke LCDP - GEM : 8 of 30
_____________________________________________________________________________________
Yang suka menulis atau membaca segala yang berbau fantasi, yuk gabung ke Le Chateau de Phantasm! \(^0^)/
No comments:
Post a Comment